"...SILAKAN YANG MAU UCAPKAN SELAMAT NATAL..."
Bertahun-tahun biasanya kita dihadapkan oleh pernyataan dan status tentang 25 Desember dan 1 Januari...
Mohon maaf setulusnya, bila tulisan ini akan tidak disukai sebagian dari sahabat-sahabat muslim...tapi sudah saatnya harus dijelaskan terbuka secara ilmu ke-TAWHIID-an..
Membaca berita seorang muslim modern menantang Ustadz Yusuf Mansur (Official) untuk menunjukan dalil pelarangan mengucapkan SELAMAT NATAL...
Berharap tulisan ini bukan hanya menjawab tantangannya, tetapi untuk diketahui saudaraku muslimin dan muslimat yang tidak ingin syahadatnya gugur..
Kupasan berdasarkan ilmu TAWHIID...
Bila kita mengucapkan...
... kalimat SELAMAT ULANG TAHUN kepada seseorang, berarti kita mengakui bahwa dia lahir di tanggal itu..
Bila kita mengucapkan...
...kalimat SELAMAT ATAS PELANTIKAN JABATAN, berarti kita mengakui dirinya sebagai pejabat baru...
Bila kita mengucapkan...
...kalimat SELAMAT ATAS KEMENANGAN PERTANDINGAN, berarti kita mengakui lawan sebagai pemenang...
Ternyata kata SELAMAT bermakna PENGAKUAN...
Kalau banyak pertanyaan, bukankah mengucapkan SELAMAT NATAL hanya merupakan sebuah ucapan saja...
Wahai saudaraku,
...Seorang muslim dinilai dari ucapannya...
Bukankah SYAHADAT juga hanya UCAPAN..?
..tapi mengapa setelah berucap SYAHADAT...seseorang menjadi muslim...?
Bukankah BISMILLAH juga hanya UCAPAN..?
..tapi mengapa hewan yang disembelih tanpa mengucap BISMILLAAH, dagingnya haram dimakan...?
Bukankah AQAD NIKAH juga hanya UCAPAN..?
..tapi mengapa setelah diucapkan, suami halal menggauli istri...
Bukankah kata CERAI juga hanya UCAPAN..?
..tapi mengapa bila suami mengucapkan kata ini terhadap istrinya baik secara bercanda maupun tidak, maka akan jatuh hukum CERAI bagi istrinya...
Saat kita mengucapkan SELAMAT NATAL dan TAHUN BARU, atau hari raya agama lain, disitulah awal kita MENGAKUI keberadan Tuhan lain yang berarti kita mengakui adanya beberapa Tuhan.
Berarti sudah tidak sesuai dengan SYAHADAT yang diucapkan dan Surat Al Ikhlas ayat 1 serta beberapa ayat lainnya.
Padahal meng-ingkari 1 AYAT QUR'AN saja...sudah dikategorikan sebagai orang kafir yang sebenar-benarnya...
"Merekalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya..."
[ Qur'an Surat An Nisa (4) ayat 151 ]
Inilah ayat-ayat yang menegaskan TERHAPUSNYA SYAHADAT yang pernah diucapkan dikarenakan ucapan selamat hari raya umat lain...
Sesungguhnya telah KAFIR lah orang-orang yang berkata/mengakui, "Sesungguhnya ALLAH ialah Al Masih putra Maryam, padahal Al Masih sendiri berkata " Hai Bani Israil, sembahlah ALLAH Tuhan-ku dan Tuhan-mu..."
[ Qur'an Surat Al Maidah (5) ayat 72 ]
"...Janganlah kamu mengatakan TUHAN itu tiga, berhentilah dari ucapan itu. Itu lebih baik bagimu. Sesungguhnya ALLAH Tuhan yang Maha Esa. Maha Suci ALLAH dari mempunyai anak..."
[ Qur'an Surat An Nisa (4) ayat 171 ]
"Dan mereka berkata, "Tuhan yang maha pemurah mempunyai anak". Sesungguhnya kamu telah mendatangkan sesuatu perkara yang sangat MUNKAR"
[ Qur'an Surat Maryam (19) ayat 88-89 ]
Saudaraku umat Nasrani dan para pendeta,
Perbedaan kita hanya pada nabi Isa, padahal bagi kami Nabi Isa adalah salah satu Rasul yang utama.
Maafkan jika menyinggung hati, tapi sungguh telah terbukti dalam Sejarah, bahwa tanggal 25 Desember itu hari kelahiran Janus dan Mitra, Sang Dewa Matahari.
Bunda Maryam melahirkan Nabi Isa disaat pohon kurma berbuah, yang berarti disaat musim panas tetapi 25 Desember adalah musim dingin...
Wahai para pendeta dan missionaris...
Kamipun meng-imani Injil yang diturunkan kepada Nabi Isa...
Bahkan Nabi kami, Muhammad memiliki paman dari istri yang seorang pendeta nasrani bernama Waraqah...
Jadi Islam sangat paham bagaimana toleransi yang benar...
Wahai para penganut nasrani.
Silakan saja rayakan natal sesuai keyakinan...
Karena bagi kami..."UNTUKMULAH AGAMAMU dan UNTUKULLAH AGAMAKU"
Tapi tegas kusampaikan...
Jangan paksa pegawai muslim berpakaian santa...
Sebagaimana kami tidak pernah pula memaksa para misionaris menggunakan peci dan sorban disaat Iedul Fitri...
Jangan paksa undang pejabat muslim hadiri natal di gereja...
Sebagaimana kami tidak pernah memaksa para pendeta hadir pada Sholat Iedul Fitri...
Saudaraku umat muslim,
Silakan saja ucapkan SELAMAT NATAL..
Silakan saja gunakan topi Santa...
Tapi jangan menyesal ...
....bila sholat kita batal...
......mati pun bukan sebagai muslim...
Karena SYAHADAT KITA SUDAH GUGUR...
Saudaraku,
Kajilah Qur'an......karena semua pertanyaan hidup sudah ada jawabannya didalam.
Kalau penjelasan panjang ini masih meragukan hati...
Periksa saja SHOLAT SHUBUH kita, apakah sudah berjama'ah di masjid setiap hari..?
Semoga bermanfaat.
Copas from ust fatih kareem status
Sabtu, 26 Desember 2015
RUNTUHNYA KETAUHIDAN KITA
Selasa, 08 Desember 2015
Kejujuran dan kepercayaan
Mempercayai sesuatu yang tidak dilandasi kejujuran, maka akan menjadi derita yg berkepanjangan. Baik bagi yang mempercayai dan yang membohongi. Begitu pula tidak mempercayai sebuah kejujuran akan menjadikan ketidaknyamanan hati dalam menjalani kehidupan. Merasa tidak dihargai dan tidak dipercaya padahal sudah jujur. Dan terus menerus dihantui ketakutan dan paranoid karena tidak bisa mempercayai sebuah kejujuran. Jadi, betapa ‘jujur’ dan ‘percaya’ adalah barang yang paling mahal dalam suatu hubungan. Entah itu keluarga, persahabatan, terutama pasangan.
Tak terbayangkan akan betapa sederhananya hidup ketika kita selalu jujur dan percaya, dalam arti mengikhlaskan dan mensyukuri segalanya. Namun, bukanlah hidup jika tanpa perjuangan. Karena untuk jujur dan percaya pun kita membutuhkan perjuangan.
Dan ketika kita sudah memilikinya, maka kita akan sadar bahwa kekuatan itu adalah jujur dan percaya.
Saya bukanlah tipe orang yang mudah percaya dengan orang lain, walaupun orang itu sudah merupakan sahabat dekat sekalipun, tetapi sekali dia melakukan ‘pelanggaran’ sebuah janji atau kejujuran, orang itu sudah mendapatkan kredit poin negatif (-1) dari saya. Untuk membuat kredit poin itu kembali ke posisi nol (0), membutuhkan waktu yang cukup lama untuk saya kembali mempercayakan suatu hal dalam hidup. Memang hal ini bukanlah sesuatu yang baik, hal ini adalah sesuatu yang buruk yang sebenarnya tidak perlu dipertahankan. Namun dengan dalih sebagai seorang manusia yang tak luput dari kesalahan dan dosa, sikap tidak mudah percaya tersebut begitu kuat tetanam dalam diri saya selama ini.
Istilah yang mengatakan bahwa dengan mulutlah (= janji) seseorang dapat dipercaya rasanya benar. Dimanapun kita hidup dan berada, dengan kalangan manapun, ketika kita sudah memberikan janji kepada orang lain, maka apa yang kita ucapkan sebagai janji itulah yang akan terus dikejar oleh orang yang telah diberi janji dan akan terus menghantui hidup kita sepanjang janji itu belum kita penuhi. Untuk kita dapat selalu memenuhi janji, diperlukan sikap profesional atas apapun yang kita lakukan. Sikap profesional tidak hanya menjadi cap yang dengan mudahnya kita tempelkan ketika kita sudah bisa bekerjasama dengan orang lain. Tidak juga serta merta mengikuti kita ketika kita berhasil menyelesaikan tugas sesuai target. Tetapi tuntutan lebih jauh lagi adalah kemampuan kita menepati janji yang telah kita ucapkan.
Lebih lanjut lagi, sikap profesional itu bukan hanya melalui janji yang telah kita tepati, tetapi juga dari tindakan dan tingkah laku kita selama berhubungan dengan orang lain. Seringkali orang dengan mudah menyalahgunakan kepercayaan yang telah diberikan dengan dalih ‘toh orang itu ngga akan tau selama kita bisa simpan rahasia’, ‘toh ini hanya sekali ini kita lakukan, janji deh ngga akan diulangi lagi’. Meskipun orang itu tidak tahu, tetapi sikap profesional menuntut kita untuk tidak menyalahgunakan kepercayaan yang telah diberikan orang lain kepada kita. Ketika ada seseorang yang saya beri tanggungjawab untuk menyelesaikan suatu tugas tertentu, namun tugas itu ternyata tidak selesai, bahkan kepercayaan yang saya berikan disalahgunakan, walaupun pada akhirnya orang itu mampu menggantikan apa yang telah disalahgunakan, namun dalam pandangan saya orang itu bukanlah lagi orang yang kompeten untuk saya beri kepercayaan berikutnya.
Saya menghargai orang yang bisa saya percaya, yang mampu menggunakan kepercayaan yang telah saya berikan dengan baik, tidak malah menyalahgunakannya. Saya menghargai orang yang bisa menepati janji, walaupun janji itu terlambat dipenuhi, asal ada alasan yang masuk akal dan dapat diterima sebagai keabsahan bersama, saya masih menghargai orang itu dan akan memberikan kesempatan kedua. Tetapi apabila ada yang hanya bersikap seperti para petinggi kita yang obral janji waktu kampanye tapi tidak pernah ada realisasinya, jangan harap saya percaya pada apa yang dikatakannya dikemudian hari, walaupun dengan disertai argumentasi yang hebat, data yang komplit, atau kemampuan persuasi yang tingkat tinggi. No way… ! Sekali saya mengalami kekecewaan, dikecewakan, apalagi sampai berkali-kali tidak menetapi janji, dan yang terlebih parah adalah menyalahgunakan kepercayaan yang saya berikan, jangan harap saya mudah percaya pada apa yang dikatakan orang itu.
Secara relasi, saya tetap menghargai dia sebagai seorang kawan, sahabat, teman, namun dari segi profesionalitas, orang itu bagi saya bukanlah orang yang dapat saya percayakan untuk suatu tugas. Saya tetap dapat bersahabat dengan tidak menunjukkan ‘kelainan’ dalam bersikap, tetapi tidak akan pernah lagi saya berikan kesempatan lain untuk mendapat kepercayaan saya.
Tampaknya nilai sebuah kepercayaan masih perlu mendapatkan ujian secara terus-menerus, masih perlu mendapat perhatian khusus bagi kita yang nantinya (atau yang sudah) berkecimpung dalam dunia kerja, ataupun yang masih kuliah. Kita mendapatkan kepercayaan untuk belajar, menghasilkan nilai ujian yang baik, lulus sarjana, bisa mendapatkan pekerjaan, menyelesaikan setiap tugas dan pekerjaan dengan baik (tidak harus sempurna, karena tidak ada manusia yang dapat bekerja secara sempurna!) dan memenuhi segala kewajiban kita (tidak hanya menuntut hak!) serta memegang teguh apa yang telah kita ucapkan sebagai janji.
Untuk mendapatkan kepercayaan bukanlah sesuatu yang sulit untuk dilakukan. Kuncinya adalah kemampuan kita untuk bersikap profesional dalam segala yang kita lakukan, tidak melanggar janji, tepat waktu, disiplin, menggunakan kepercayaan sebaik-baiknya. Disiplin secara rohani tidak menjamin orang itu bisa disiplin secara sekuler, saya tidak mendiskreditkan siapapun, tapi bagi yang merasa demikian, saya bersyukur karena pada akhirnya Anda sadar akan kekurangan Anda. Disiplin waktu juga menjadi kunci utama bagi kita untuk mendapatkan kepercayaan yang lebih besar lagi, karena apabila kita menganggap disiplin waktu dari segi rohani sudah terpenuhi secara excellent, namun tidak menjamin di bidang lain di luar rohani kita juga memiliki disiplin waktu yang excellent. Semua perlu kesadaran dan kemampuan kita untuk melihat konteks kehidupan secara utuh, tidak terkotak – kotak seperti itu.
Semuanya kembali pada masalah kepercayaan yang akan kita peroleh di kemudian hari, apakah sebagai individu kita mampu menciptakan kesan pertama yang baik kepada orang lain? Apakah selama berelasi kita mampu selalu tepat waktu dalam segala hal dan dalam segala bidang? Apakah selama ini kita sudah mempergunakan kepercayaan yang diberikan orang lain kepada kita, baik dalam bentuk penugasan, materi dan lainnya dengan baik? Semuanya itu perlu demi mendapatkan kepercayaan penuh dari orang lain, tanpa kecuali…
Senin, 27 April 2015
URGENSI KUA DALAM MENCIPTAKAN KELUARGA SAKINAH (Kajian Integrasi Tugas Dan Fungsi KUA Menuju Profesionalisme)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
KUA merupakan pemegang kendali (Stick holder) urusan keagamaan di lavel kecamatan yang memiliki kedudukan sebagai pelaksana sebagian tugas Kantor Kementerian Agama Kabupaten / Kota dibidang urusan agama Islam (KMA No. 517 Tahun 2001). KUA hendaknya tidak dimaknai sempit, hanya bertugas melakukan pencatatan perkawinan, tetapi lebih dari itu tugas-tugas keagaman dan pembinaan yang lain seperti pembinaan haji pemberdayaan zakat, wakaf, pemberdayaan ekonomi umat dan pembinaan keluarga sakinah melalui BP.4. Sebagai contoh pengelolaan zakat yang belum dikelola dengan memadai oleh KUA, padahal dana zakat berpotensi besar menjadi modal bagi pemberdayaan ekonomi umat, jika dikelola dengan baik, kompleksitas dan koneksitas tugas dan fungsi KUA belum ditemukan maksimal padahal integrasi KUA menuju profesionalisme adalah menjadi toak ukur berhasilnya pembangunan bangsa yang wujudnya adalah keluarga sakinah.
Substantif pembangunan nasional adalah menciptakan SDM seutuhnya, berkualitas, memiliki emosional dan kualitas spiritual. Untuk itu harus diawali dengan pembangunan institusi keluarga. Puncak kebahagiaan kebesaran harkat dan martabat seseorang akan lebih bermakna yang dibentuk dengan keluarga dibanding mereka yang dibersarkan tanpa keluarga. Sebab melalui keluarga akan lagi manusia-manusia yang berkepribadian, berkualitas, kuat dan mulia, terlebih keluarga yang dibangun atas prinsip-prinsip keyakinan keagamaan, norma sosial dan aturan-aturan hukum yang berlaku dimasyarakat.
Tidaklah mudah membentuk keluarga yang sakinah di era kontemporer seperti yang terjadi sekarang ini. Akibat majunya IPTEK justru membuat pintu gerbang perceraian yang berakibat munculnya masalah-masalah sosial anak, keluarga, bahkan lingkungan sosial terdekat, belum lagi perkawinan siri beda agama, perkawinan kontrak (mut’ah) perkawinan dibawah umur dan sebagaianya. Perceraian dan perkawinan siri sedapat mungkin untuk dapat dihindari.
Terkait urgensi KUA disamping pentingnya mencatat perkawinan juga mensosialisasikan nikah secara benar kepada masyarakat termasuk mencegah perkawinan siri dan menghalangi perceraian melalui BP4. Dengan sosialisasi perkawinan yang benar, pernikahan siri akan dapat dihindari, karena nikah siri kedepan akan membawa implikasi hukum bagi anak-anak mereka bahkan menjadi persoalan bangsa. Bagaimana mungkin?, keluarga sakinah akan terbentuk jika didalam keluarga itu sendiri tidak transparan dan tidak harmonis. Demikian pula bagaimana mungkin keluarga sakinah akan terbentuk tanpa adanya KUA yang memiliki SDM yang handal maupun fasilitas yang memadai, multi fungsi dan metode, materi pembinaan yang komprehensif, koneksitas, menuju integerasi KUA profesionalisme, maju, berdaya saing, dan amanah. Semakin majunya tingkat pencapaian terhadap KUA maka permasalahan yang muncul akan semakin kompleks. Demikian urgennya KUA dalam menciptakan keluarga sakinah sebagai upaya menciptakan pembangunan Nasional.
Penelitian ini menjadi penting, unik dan menarik walau belum menjadi sebuah kefatalan besar tentang pemaknaan keberadaan KUA selama ini yang di pandang identik dengan institusi yang bertugas keagamaan semata, yang sangat sempit (Normatif , Deduktif) belum menyentuh dunia sosial kemasyarakatan yang lain, masih sebatas pelayanan pencatatan nikah bagi yang beragama Islam, BP4 belum tampil sebagai Steak holder secara “Kaffah” dan “Rahmatan lilalamin” ditengah kehidupan kontemporer. Amin Abdullah dalam bukunya Metodelogi Islamic Studies, menyatakan bahwa : “metode deduktif adalah metode yang hanya bertumpu pada dalil-dalil wahyu belaka, tanpa dibantu dengan pendekatan-pendekatan empirik atau induktif”.[1]
Keberadaan KUA didunia kontemporer secara umum belum menyentuh meningkatkan kinerja yang riil dan belum merespon isu-isu umat berupa sosial kemasyarakatan yang terjadi, termasuk mengetaskan kemiskinan, memberdayakan ekonomi umat, walaupun baru sebatas keluarga sakinah merupakan hasil kerja KUA yang dipromosikan ketingkat nasional, karena keluarga sakinah merupakan salah satu program unggulan kementrian agama. Tetapi temuan-temuan dilapangan masih sangat minim adanya KUA yang memiliki kualitas SDM yang memadai untuk berintegrasi tugas dan fungsi KUA dalam upaya capaian-capaiannya secara maksimal untuk medukung pembangunan nasional selain daripada keluarga sakinah. Hal ini terjadi karena lemahnya SDM penghulu, sarana dan prasarana yang terbatas selama ini.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah diatas, sebagimana penulis paparkan pokok-pokok permasalahan yang akan dijadikan bahan kajian dalam penulisan ini yaitu:
1. Bagaimanakah integrasi tugas dan fungsi KUA menuju profesionalisme?
2. Bagaimanakah urgensi KUA dalam menciptakan keluarga sakinah?
3. Apakah hambatan-hambatan KUA dalam berintegrasi menuju profesionalisme dan menciptakan keluarga sakinah?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan antara lain:
a. Untuk menggali integrasi tugas dan fungsi KUA menuju profesionalisme dan mensukseskan pembangunan nasional melalui keluarga sakinah.
b. Untuk mendeskripsikan KUA selaku Stick holder pemegang keagamaan dikecamatan dalam memberikan solusi terhadap isu-isu kontemporer termasuk hambatan-hambatan KUA dalam melaksanakan tugas dan fungsi dalam menciptakan keluarga sakinah dan mensukseskan pembangunan nasional serta merespon problema-problema kemasyarakatan dan keikut sertaan dalam pembangunan SDM seutuhnya.
c. Untuk memberikan semangat kreatifitas khusunya para penghulu dikementrian agama dan umumnya masyarakat Indonesia untuk mengembangkan tradisi karya tulis ilmiah.
d. Untuk menampilkan peran agama, selaku kementrian santri atau spiritual sebagai menuasia yang berakhlakul karimah, bermartabat, beriman dan bertakwa membentuk sikap dan perilaku dalam hidup beragama, berbangsa dan bernegara.
2. Kegunaan Penelitian
Kegunaan penelitian ini antara lain:
a. Untuk menambah khazanah ilmiah yang kiranya dapat dijadikan salah satu sumber informasi dalam masalah-masalah kepenghuluan, perkawinan, atau hukum perkawinan.
b. Diharapkan hasil dari kajian ini dapat bermanfaat sebagai pijakan positif bagi para peneliti berikutnya, dalam rangka pengembangan ilmu dalam masalah-masalah yang relatif sama.
c. Diharapkan dalam penelitian ini kementrian agama melalui penghulu khususnya, dan pegawai kementrian agama pada umumnya, dapat dipelihara, mengembangkan dan mewariskan anak-anak bangsa yang berkarya ilmiah, menguasai IPTEK, trampil, cerdas, guna kebangkitan tradisi ilmiah yang agresif dan progresif dengan penuh reinterpretatif argumentatif.
d. Hasil penelitian ini juga diharapkan sebagai sumbangan karya tulis ilmiah bagi Kementerian Agama RI dalam hal menyangkut pembinaan dan pengembangan KUA dalam menciptakan keluarga sakinah yang merupakan bagian dari pembangunan nasional.
D. Sistematika Penulisan
Penelitian ini terdiri dari empat bab. Satu bab pendahuluan, dua bab pembahasan dan satu bab kesimpulan.
Bab pertama : Pendahuluan, terdiri atas empat sub bab, dimulai dengan mendeskripsikan latar belakang masalah penelitian, analisis urgensi dan signifikasi KUA terhadap keluarga sakinah dan perumusan masalah. Tujuan yang hendak dicapai, manfaat yang diperoleh dan kontribusi penelitian yang bersikap akademis ilmiah dan praktis bagi pengembangan pemahaman masyarakat.
Bab dua memuat tentang kajian teoritis dan pengembagan metodologi penelitian yang terdiri dari : kajian pustaka tentang teori-teori kepustakaan, landasan teori yang digunakan sebagai pembanding atau acuan dan metodologi penelitian dan pengembangan yang digunakan.
Bab tiga adalah pembahasan mengenai analisis terhadap integrasi tugas dan fungsi KUA menuju profesionalisme dan menciptakan keluarga sakinah yang mencakup, analisis kritis terhadap integrasi tugas dan fungsi KUA menuju profesionalisme dan analisis urgensi KUA dalam menciptakan keluarga sakinah serta hambatan-hambatan integrasi KUA menuju profesionalisme dan menciptakan keluarga sakinah.
Bab empat adalah mengetengahkan kesimpulan tentang penelitian ini berupa kesimpulan saran dan rekomendasi.
Berikutnya adalah daftar kepustakaan dan lampiran jika diperlukan.
[1] Amin Abdullah, Metodologi Islamic Studies. (Yogya Karta, UIN Sunan Kali Jaga Press, 2007), hlm 15
file lengkap disini
Download Syumila NU – Maktabah Syamilah Ahlussunnah (Kitab Kuning dan Terjemah)
penerapan pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) untuk meningkatkan hasil belajar Al-Qur’an Hadits pada siswa kelas VI
Nilai
|
Katagori
|
Jumlah
siswa
|
Persentase
(%)
|
<
65
|
Belum
Tuntas
|
10
|
50
%
|
≥65
|
Tuntas
|
10
|
50
%
|
Jumlah
|
|
20
|
100%
|
Panduan Ziaroh
- Jama’ Taqdim :
yaitu mengumpulkan dua sholat pada waktu sholat yang pertama, seperti
sholat dzuhur dan sholat ashar dilaksanakan pada waktu dzuhur, sholat
maghrib dan sholat isya dilaksanakan pada waktu maghrib.
- Jama’ Ta’khir
yaitu mengumpulkan dua sholat pada waktu sholat yang ke dua, seperti
Sholat dzhuru dan ashar dilaksanakan pada waktu ashar, sholat maghrib dan
isya dilaksanakan pada waktu isya, dan niatnya ketika masih dalam wakhtu
sholat yang pertama:
ثُمَّ اِلَى حَضَرَاتٍ جَمِيْعِ اْلاَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِيْنَ وَالأَوْلِيَاءِ الْعَارِفِيْن وَالْعُلَمَاءِ الْعَامِلِيْنَ وَالصِّدِّيْقِيْنَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِيْنَ وَالصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْن وَجَمِيْعِ الْمَلاَئِكَةِ الْمُقَرَّبِيْنَ خُصُوْصًا سَيِّدَنَا الشَّيْخَ عَبْدَ الْقَادِرِ الْجَيْلاَنِيَ اَلْفَاتِحَة...
|