Pages

Senin, 11 Juli 2016



Dalam keseharian bersosialisasi, berhubungan dengan orang lain di sekitar tidak selamanya dapat berjalan seperti yang diinginkan. Seringkali terjadi kesalahpahaman, ketidakcocokan, salah pengertian bahkan sudah pada tahap saling menyakiti baik secara fisik maupun psikis.
Jika yang dilakukan oleh orang lain kepada diri kita secara sadar dan memang berupaya berniat jahat untuk melukai baik secara fisik atau psikis maka di dalam Islam itu disebut berbuat zalim. Seringkali kita dilema untuk menghadapi situasi seperti ini, apalagi ketika dizalimi secara psikis, yang tidak terlihat bekasannya secara nyata. Apakah dibenarkan dalam Islam untuk membalasnya, ataukah diam saja sebagai perwujudan sikap sabar seorang muslim?
Dalam Islam perkara zalim ini memang memperoleh tempat tersendiri. Karena pada dasarnya, seseorang itu tidak berhak melukai orang lain, berbuat aniaya atau melakukan perbuatan yang merugikan saudara, tetangga, teman ataupun orang yang tidak dikenal sekalipun. Banyak ayat yang menyatakan perbuatan zalim itu akan dibalas oleh Allah dengan balasan setimpal.
Ada dua pilihan yang bisa diambil oleh setiap muslim menghadapi situasi seperti ini:
1. Membalas perbuatan dzolim itu dengan perbuatan yang setimpal. Alah berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 194: “Oleh sebab itu barang siapa yang menyerang kamu, maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu.”
Tafsir Al Qurthubi menjelaskan, “Barangsiapa saja yang menzalimimu maka ambillah hakmu yang dizalimi tersebut, barang siapa yang mencacimu, maka cacilah ia sesuai dengan cacian yang setimpal. Barangsiapa dipermalukan maka permalukan dia dan janganlah kamu melebihi itu, seperti mempermalukan kedua orangtuanya, anaknya atau kerabatnya yang lain. (tafsir Qurhubi jilid 2 hl 360 terbitan Daar Al-Shaab Kairo th. 1372 H)
Pernyataan Al Qurthubi ini menunjukkan jika dalam membalas pun tetap ada abad-adab tersendiri yang tidak boleh dilanggar, seperti tak boleh melampaui batas, tidak boleh mempermalukan orang tua, anak-anak dan kerabatnya. Hal ini memang sangat sukar dilakukan karena biasanya sudah dalam tahap sangat labil emosi dan perilaku orang yang dizalimi, tapi itulah kehebatan Islam yang penuh ajaran baik.
menurut Ustadz Wahyudin dari Ponpes Al Mukmin Ngruki Surakarta, saat ditanya wartawan asal Perancis mengenai hal ini, beliau menegaskan jika seorang muslim diserang atau dianiaya dan dizalimi, maka ia sebaikanya tidak berdiam diri. Ia boleh membalas dengan kapasitas yang sama, karena itu adalah keadilan untuknya. Hanya saja, jika manusia itu membalas biasanya tidak bisa menakar balasannya dengan setimpal, malah bisa jadi lebih besar/berat. Untuk itu, maka jika bisa ishlah, berdamai mencari titik temu sembari bersabar itu lebih baik.
Bahkan Imam At-Thobari dalam tafsirnya menegaskan: Kejahatan orang yang pertama merupakan perbuatan zalim, dan balasan kejahatan yang setimpal dari orang kedua (dizalimi) merupakan ganjaran bagi orang pertama, sebab hal ini merupakan balasan perbuatan zalim atas orang zalim tersebut .
2. Membalas dengan sikap sabar
Memang jika dirunut hal ini bukan salah satu perbuatan yang ringan, bagaimana mungkin orang yang sudah dizalimi hanya bisa bersabar? karena sesungguhnya yang terjadi malah sebaliknya, ingin membalas yang lebih keras, lebih keji dan itu malah membuat pembalasan membuat dosa, buka lagi ajang pembelajaran dan sekedar membuat jera orang yang melakukan kezaliman, namun sudah melebihi atau membuat kezaliman baru. Maka jika masih bisa bersabar, maka balasan pahala terhadap orang yang bersabar jauh lebih besar, dan hal tersebut lebih disukai Allah. Seperti firman Allah dalam surat An-Nahl ayat 126 yang artinya: “Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar.”
Orang-orang yang bisa bersikap sabar itu menunjukkan bahwa ia memang bukan orang ‘biasa’ atau kebanyakan orang yang bisa mengendalikan dirinya untuk tidak terpancing emosi atau mengelola hatinya dari kemarahan atau dendam menjadi pemaaf dan menghadapi dengan penuh kesabaran. Memang hal ini bukan hal yang mudah, namun bukan berarti tidak bisa dilakukan. Jadilah pribadi yang utama seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah, kala mengadapi tekanan  orang kafir, beliau bersabar dan baru melakukan tindakan setelah ada ayat yang menyuruh beliau melakukan pembalasan bukan hanya sekedar pembalasan, namun untuk menunjukkan jika umat Islam tidak lemah dan  menyingkirkan ketidak adilan.

وكفى بالله شهيدا وكفى بالله نصيرا

Referensi:
1. Tafsir Ibnu Katsir jld 1 hal 52, terbitan Daar Al-Fikri Beirut th. 1401 H.
2. Tafsir At-Thobari jld 1 hal 133, terbitan Daar Al-Fikri Beirut th. 1405 H
3. majalah ummi

Jumat, 08 Juli 2016


SOMBONG IRI DAN DENGK

Hati (bahasa Arab Qalbu) adalah bagian yang sangat penting daripada manusia. Jika hati kita baik, maka baik pula seluruh amal kita:
Rasulullah saw. bersabda, “….Bahwa dalam diri setiap manusia terdapat segumpal daging, apabila ia baik maka baik pula seluruh amalnya, dan apabila ia itu rusak maka rusak pula seluruh perbuatannya. Gumpalan daging itu adalah hati.” (HR Imam Al-Bukhari)
Sebaliknya, orang yang dalam hatinya ada penyakit, sulit menerima kebenaran dan merasa paling benar sendiri, tidak mau mendengarkan nasihat atau masukan, dan merasa paling berkuasa
“Orang-orang yang di dalam hati mereka ada penyakit, maka dengan surat itu bertambah kekafiran mereka, disamping kekafirannya yang telah ada dan mereka mati dalam keadaan kafir.” [At Taubah 125]
Oleh karena itu penyakit hati jauh lebih berbahaya daripada penyakit fisik karena bisa mengakibatkan kesengsaraan di neraka yang abadi.
Kita perlu mengenal beberapa penyakit hati yang berbahaya serta bagaimana cara menyembuhkannya.
Sombong
Sering orang karena jabatan, kekayaan, atau pun kepintaran akhirnya menjadi sombong dan menganggap rendah orang lain. tidak ada yang "paling"selaim dirinya Bahkan Fir’aun yang takabbur sampai-sampai menganggap rendah Allah dan menganggap dirinya sebagai Tuhan. Kenyataannya Fir’aun adalah manusia yang akhirnya bisa mati karena tenggelam di laut.
Allah melarang kita untuk menjadi sombong:
“Janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung.” [Al Israa’ 37]
“Janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia karena sombong dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.” [Luqman 18]
Allah menyediakan neraka jahannam bagi orang yang sombong:
“Masuklah kamu ke pintu-pintu neraka Jahannam, sedang kamu kekal di dalamnya. Maka itulah seburuk-buruk tempat bagi orang-orang yang sombong .” [Al Mu’min 76]
Kita tidak boleh sombong karena saat kita lahir kita tidak punya kekuasaan apa-apa. Kita tidak punya kekayaan apa-apa. Bahkan pakaian pun tidak. Kecerdasan pun kita tidak punya. Namun karena kasih-sayang orang tua-lah kita akhirnya jadi dewasa.
Begitu pula saat kita mati, segala jabatan dan kekayaan kita lepas dari kita. Kita dikubur dalam lubang yang sempit dengan pakaian seadanya yang nanti akan lapuk dimakan zaman.
Imam Al Ghazali dalam kitab Ihya’ “Uluumuddiin menyatakan bahwa manusia janganlah sombong karena sesungguhnya manusia diciptakan dari air mani yang hina dan dari tempat yang sama dengan tempat keluarnya kotoran.
Bukankah Allah mengatakan pada kita bahwa kita diciptakan dari air mani yang hina:
Saat hidup pun kita membawa beberapa kilogram kotoran di badan kita. Jadi bagaimana mungkin kita masih bersikap sombong?
‘Ujub (Kagum akan diri sendiri)
Ini mirip dengan sombong. Kita merasa bangga atau kagum akan diri kita sendiri. Padahal seharusnya kita tahu bahwa semua nikmat yang kita dapat itu berasal dari Allah.
orang yang memiliki sifat ini lebih merasa tidak akan sukses suatu pekerjaan jika bukan karena dirinya.
Jika kita mendapat keberhasilan atau pujian dari orang, janganlah ‘ujub. Sebaliknya ucapkan “Alhamdulillah” karena segala puji itu hanya untuk Allah.
Iri dan Dengki
Allah melarang kita iri pada yang lain karena rezeki yang mereka dapat itu sesuai dengan usaha mereka dan juga sudah jadi ketentuan Allah.
“Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” [An Nisaa’ 32]
Iri hanya boleh dalam 2 hal. Yaitu dalam hal bersedekah dan ilmu.
Tidak ada iri hati kecuali terhadap dua perkara, yakni seorang yang diberi Allah harta lalu dia belanjakan pada jalan yang benar, dan seorang diberi Allah ilmu dan kebijaksaan lalu dia melaksanakan dan mengajarkannya. (HR. Bukhari)
Jika kita mengagumi milik orang lain, agar terhindar dari iri hendaknya mendoakan agar yang bersangkutan dilimpahi berkah.
Dengki lebih parah dari iri. Orang yang dengki ini merasa susah jika melihat orang lain senang. Dan merasa senang jika orang lain susah. Tak jarang dia berusaha mencelakakan orang yang dia dengki baik dengan lisan, tulisan, atau pun perbuatan. Oleh karena itu Allah menyuruh kita berlindung dari kejahatan orang yang dengki:
“Dan dari kejahatan pendengki bila ia dengki.” [Al Falaq 5]
Kedengkian bisa menghancurkan pahala-pahala kita.
Waspadalah terhadap hasud (iri dan dengki), sesungguhnya hasud mengikis pahala-pahala sebagaimana api memakan kayu. (HR. Abu Dawud)

waspadalah karena orang yang terkena penyakit ini kadang buka  hanya merusak dirinha sendiri, tetapi lebih dari itu bisa merusak orang lain bahkan umat....