Pages

Selasa, 08 Desember 2015

Kejujuran dan kepercayaan

Jujur



Mempercayai sesuatu yang tidak dilandasi kejujuran, maka akan menjadi derita yg berkepanjangan. Baik bagi yang mempercayai dan yang membohongi. Begitu pula tidak mempercayai sebuah kejujuran akan menjadikan ketidaknyamanan hati dalam menjalani kehidupan. Merasa tidak dihargai dan tidak dipercaya padahal sudah jujur. Dan terus menerus dihantui ketakutan dan paranoid karena tidak bisa mempercayai sebuah kejujuran. Jadi, betapa ‘jujur’ dan ‘percaya’ adalah barang yang paling mahal dalam suatu hubungan. Entah itu keluarga, persahabatan, terutama pasangan.

Tak terbayangkan akan betapa sederhananya hidup ketika kita selalu jujur dan percaya, dalam arti mengikhlaskan dan mensyukuri segalanya. Namun, bukanlah hidup jika tanpa perjuangan. Karena untuk jujur dan percaya pun kita membutuhkan perjuangan.

Dan ketika kita sudah memilikinya, maka kita akan sadar bahwa kekuatan itu adalah jujur dan percaya.

Saya bukanlah tipe orang yang mudah percaya dengan orang lain, walaupun orang itu sudah merupakan sahabat dekat sekalipun, tetapi sekali dia melakukan ‘pelanggaran’ sebuah janji atau kejujuran, orang itu sudah mendapatkan kredit poin negatif (-1) dari saya. Untuk membuat kredit poin itu kembali ke posisi nol (0), membutuhkan waktu yang cukup lama untuk saya kembali mempercayakan suatu hal dalam hidup. Memang hal ini bukanlah sesuatu yang baik, hal ini adalah sesuatu yang buruk yang sebenarnya tidak perlu dipertahankan. Namun dengan dalih sebagai seorang manusia yang tak luput dari kesalahan dan dosa, sikap tidak mudah percaya tersebut begitu kuat tetanam dalam diri saya selama ini.

Istilah yang mengatakan bahwa dengan mulutlah (= janji) seseorang dapat dipercaya rasanya benar. Dimanapun kita hidup dan berada, dengan kalangan manapun, ketika kita sudah memberikan janji kepada orang lain, maka apa yang kita ucapkan sebagai janji itulah yang akan terus dikejar oleh orang yang telah diberi janji dan akan terus menghantui hidup kita sepanjang janji itu belum kita penuhi. Untuk kita dapat selalu memenuhi janji, diperlukan sikap profesional atas apapun yang kita lakukan. Sikap profesional tidak hanya menjadi cap yang dengan mudahnya kita tempelkan ketika kita sudah bisa bekerjasama dengan orang lain. Tidak juga serta merta mengikuti kita ketika kita berhasil menyelesaikan tugas sesuai target. Tetapi tuntutan lebih jauh lagi adalah kemampuan kita menepati janji yang telah kita ucapkan.

Lebih lanjut lagi, sikap profesional itu bukan hanya melalui janji yang telah kita tepati, tetapi juga dari tindakan dan tingkah laku kita selama berhubungan dengan orang lain. Seringkali orang dengan mudah menyalahgunakan kepercayaan yang telah diberikan dengan dalih ‘toh orang itu ngga akan tau selama kita bisa simpan rahasia’, ‘toh ini hanya sekali ini kita lakukan, janji deh ngga akan diulangi lagi’. Meskipun orang itu tidak tahu, tetapi sikap profesional menuntut kita untuk tidak menyalahgunakan kepercayaan yang telah diberikan orang lain kepada kita. Ketika ada seseorang yang saya beri tanggungjawab untuk menyelesaikan suatu tugas tertentu, namun tugas itu ternyata tidak selesai, bahkan kepercayaan yang saya berikan disalahgunakan, walaupun pada akhirnya orang itu mampu menggantikan apa yang telah disalahgunakan, namun dalam pandangan saya orang itu bukanlah lagi orang yang kompeten untuk saya beri kepercayaan berikutnya.

Saya menghargai orang yang bisa saya percaya, yang mampu menggunakan kepercayaan yang telah saya berikan dengan baik, tidak malah menyalahgunakannya. Saya menghargai orang yang bisa menepati janji, walaupun janji itu terlambat dipenuhi, asal ada alasan yang masuk akal dan dapat diterima sebagai keabsahan bersama, saya masih menghargai orang itu dan akan memberikan kesempatan kedua. Tetapi apabila ada yang hanya bersikap seperti para petinggi kita yang obral janji waktu kampanye tapi tidak pernah ada realisasinya, jangan harap saya percaya pada apa yang dikatakannya dikemudian hari, walaupun dengan disertai argumentasi yang hebat, data yang komplit, atau kemampuan persuasi yang tingkat tinggi. No way… ! Sekali saya mengalami kekecewaan, dikecewakan, apalagi sampai berkali-kali tidak menetapi janji, dan yang terlebih parah adalah menyalahgunakan kepercayaan yang saya berikan, jangan harap saya mudah percaya pada apa yang dikatakan orang itu.

Secara relasi, saya tetap menghargai dia sebagai seorang kawan, sahabat, teman, namun dari segi profesionalitas, orang itu bagi saya bukanlah orang yang dapat saya percayakan untuk suatu tugas. Saya tetap dapat bersahabat dengan tidak menunjukkan ‘kelainan’ dalam bersikap, tetapi tidak akan pernah lagi saya berikan kesempatan lain untuk mendapat kepercayaan saya.

Tampaknya nilai sebuah kepercayaan masih perlu mendapatkan ujian secara terus-menerus, masih perlu mendapat perhatian khusus bagi kita yang nantinya (atau yang sudah) berkecimpung dalam dunia kerja, ataupun yang masih kuliah. Kita mendapatkan kepercayaan untuk belajar, menghasilkan nilai ujian yang baik, lulus sarjana, bisa mendapatkan pekerjaan, menyelesaikan setiap tugas dan pekerjaan dengan baik (tidak harus sempurna, karena tidak ada manusia yang dapat bekerja secara sempurna!) dan memenuhi segala kewajiban kita (tidak hanya menuntut hak!) serta memegang teguh apa yang telah kita ucapkan sebagai janji.

Untuk mendapatkan kepercayaan bukanlah sesuatu yang sulit untuk dilakukan. Kuncinya adalah kemampuan kita untuk bersikap profesional dalam segala yang kita lakukan, tidak melanggar janji, tepat waktu, disiplin, menggunakan kepercayaan sebaik-baiknya. Disiplin secara rohani tidak menjamin orang itu bisa disiplin secara sekuler, saya tidak mendiskreditkan siapapun, tapi bagi yang merasa demikian, saya bersyukur karena pada akhirnya Anda sadar akan kekurangan Anda. Disiplin waktu juga menjadi kunci utama bagi kita untuk mendapatkan kepercayaan yang lebih besar lagi, karena apabila kita menganggap disiplin waktu dari segi rohani sudah terpenuhi secara excellent, namun tidak menjamin di bidang lain di luar rohani kita juga memiliki disiplin waktu yang excellent. Semua perlu kesadaran dan kemampuan kita untuk melihat konteks kehidupan secara utuh, tidak terkotak – kotak seperti itu.

Semuanya kembali pada masalah kepercayaan yang akan kita peroleh di kemudian hari, apakah sebagai individu kita mampu menciptakan kesan pertama yang baik kepada orang lain? Apakah selama berelasi kita mampu selalu tepat waktu dalam segala hal dan dalam segala bidang? Apakah selama ini kita sudah mempergunakan kepercayaan yang diberikan orang lain kepada kita, baik dalam bentuk penugasan, materi dan lainnya dengan baik? Semuanya itu perlu demi mendapatkan kepercayaan penuh dari orang lain, tanpa kecuali…


0 comments:

Posting Komentar